Bersama rintik gerimis ini, aku jadi teringat saat aku singgah ke kotamu beberapa waktu lalu. Aku seolah bisa merasakan kembali rintik lembut air yang turun bagaikan butiran salju – meksi aku belum pernah melihat salju dengan mata kepalaku sendiri -, butiran air yang lebih tampak mengambang, daripada terjun bebas. Kadang aku rindu suasana alam yang sendu seperti itu.
Kotamu bukanlah sebuah kota yang besar dan penuh dengan gedung megah, namun aku merasakan banyak daya tarik di sana. Serasa magis.
Ia menawarkan sebuah pemandangan yang menyejukkan mata, di kaki sebuah gunung yang tidaklah tinggi, yang dibayangi gunung lainnya yang menjulang di belakangnya.
Dalam perjalanan, aku sudah bisa menikmati jalan-jalan menikung yang sesekali menawarkan pemandangan yang sama menyejukkannya di mataku. Kadang dari ladang yang lebih rendah dari jalan yang aku lewati, kadang dari pohon-pohon di tepian jalan, namun kadang dari puncak gunung kecil yang memayungi kotamu itu.
Walau tidak tinggi, aku pernah sekali naik ke puncak gunung itu, jauh sebelum aku mengenalmu. Dan aku juga melihat pemandangan yang memukau dari atas gunung itu saat sunrise.
Walau apa yang aku dapatkan setelahnya tidaklah sama dengan yang aku harapkan sebelum keberangkatanku. Tapi aku tak menyesal telah berusaha jujur padamu, terlebih pada diriku sendiri.
Mungkin memang tidak semudah itu aku bisa masuk dalam kehidupan pribadimu, mungkin memang aku terlalu cepat menginvasi privasimu. Tapi itulah aku, kadang memang aku terlalu spontan tanpa menyadari adanya batasan yang harus aku jaga dari melewatinya.
Kalau aku boleh jujur, saat itulah saat pertama kalinya aku berani mengungkapkan perasaanku kepada seorang gadis. Dengan langsung, face to face.
Baru saat bersama kamu aku memiliki tekat dan keberanian yang sebegitu besar untuk mengutarakan isi hatiku. Sepanjang perjalanan hidupku, tak banyak kisah yang pernah aku jalin. Dan aku berharap kisahku denganmu bisa menjadi kisah terakhirku. Aku sudah begitu yakin padamu, saat itu.